Senin, 28 Desember 2009

Aku Bulan atau Bintang?

Pada siapa aku harus percaya?! Pada bulan? Ataukah pada bintang? Tidak!!! Tapi ini sedikit menyakitkan. Katanya aku harus percaya pada malam, karena ia akan mengundang siang. Tapi malam selalu bohong! Ia bilang bisa terangi gelapku dengan bulannya. Nyatanya, sinarnya itu cuma hutangan belaka dari matahari. Sekarang biarkan aku sendiri menetap lara diri.
”Kami adalah bulan dan bintang di siang hari. Samar, bahkan tak nampak kalau dipandang ke langit” bacaku pada sebuah gores tulisan di kulit pohon mahoni.
Tak mengerti memang, tapi sepertinya itu adalah ungkapan hati seseorang yang amat puitis.
”Fara, daripada kita terus melototi tulisan ini lebih baik kita segera pulang”’ ajakku pada Fara sahabatku.
”Tentu, lagipula aku tak mengerti arti dari tulisan ini”, jawabnya singkat.
Terik matahari bagaikan memanggangku dalam oven, tapi bedanya aku bukan roti. Langkah kaki kecilku mulai gontai menapaki sepanjang gang kecil yang mengiringi raga sampai ke rumah. Lega rasanya saat kuhirup aroma sop buatan Ibu yang merayuku untuk segera makan siang. Namun, kali ini aku tidak langsung makan. Badan yang terasa sangat letih ini memaksa diri untuk menghempaskan penat ke kasur tempat tidur mungilku. Tak tahu mengapa, kalimat puitis pada pohon mahoni yang kujumpai tadi selalu membayang di pikiranku.Tak berapa lama kurasakan bagai petir di siang bolong.
”Apa?! Ayah akan dipindahkan bekerja ke Banjarbaru bulan ini? Dan minggu depan kita harus segera berangkat?” tanyaku pada Ibu.
Rasanya tak percaya, tapi ini nyata. ”Fara sahabatku, apa yang harus aku katakan padamu?” tanyaku dalam hati. Aku senang, tapi juga sedih. Kembali ke kampung halaman memang menjadi hal yang sangat kunantikan, tapi menginggalkan seorang sahabat adala hal yang sangat menyedihkan. Terus terang aku tidak mau melihat raut wajah Fara yang sedih karena kepergianku.
”Fara, aku ingin mengukir nama kita berdua di pohon yang ada tulisan anehnya itu. Kamu mau membantuku kan?” ajakku penuh harap.
”Memangnya untuk apa?” Fara terlihat bingung.
”Hanya untuk main-main aja kok!” jawabku asal.
Saat melihat hasil ukiran tulisan nama yang hampir tak bisa dibaca itu, perutku terasa geli tapi hatiku perih sekali. Mungkin ini adalah kenangan terakhirku untuk Fara. Suatu saat nanti kuharap Fara akan mengerti arti mengapa aku ingin menuliskan nama kami berdua di pohon itu. Arti dari persahabatan kami. Saat kami bersama berbagi dari ketika kami masih sama-sama kecil.
Hari demi hari berlalu tanpa permisi. Tak terasa esok aku harus pergi. Bola tenis dipantulkan Fara berkali-kali dan kami masih saling diam. Padahal aku tidak pernah mengatakan hal apa-apa tentang kepergianku kepadanya. Tapi sepertinya ia tahu. Sikapnya pun seperti lain dari yan biasanya.
”Aku ingin jadi bulan, dan kau ingin di apa?”, tanya Fara tiba-tiba.
Sempat aku terdiam ’tuk berpikir, ”Jadi bintang saja tak apa. Bukankah bintang itu sahabat setianya bulan?”
”Mmm.... Aku masih bimbang, karena sebenarnya aku juga ingin adi bintang”’ katanya lagi dengan cepat.
Sekali lagi perkataannya menyayat hatiku. Kupandangi wajah polosnya dengan rasa penuh sesal. Mungkin nanti, ’tak akan bisa lagi aku bermain bersamanya apalagi menulis cerita tentang khayal kami di langit sana.
”Maafkan aku. Aku tak sanggup untuk bilang pisah padamu. Karena aku tahu, bahwa aku mungkin tak akan bisa lagi bertemu dan bersahabat dengan orang seperti dirimu”, sesalku sekali lagi. Fara adalah sahabat yang paling mengerti aku, meski ia adalah anak manja yang belum mandiri tapi ia selalu bisa mengatasi masalah dengan baik walaupun harus mengorbankan dirinya sendiri.
Untuk terakhir kali, kupandang ke belakang kapal Ferry yang membawaku menjauh dari pulau yang tempat aku dan Fara dulu saling berbagi. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa kau akan kembali menenemui Fara lagi. Riak-riak air laut yang kubelah sebagai langkah seakan bersorak merayakan kepergianku. Iya benar, seharusnya aku tidak lagi memandang ke belakang karena duniaku ada di depan, di pulau yang lain.
Tanpa terasa dua tahun berlalu. Mula-mula rasa sepi menerpa hidupku namun lama-kelamaan rasa itu pun mulai sirna karena ternyata di sini aku juga memperoleh banyak teman baik meski tak sebaik sahabatku Fara. Duniaku memang sudah mulai berkembang dan aku pun juga berhasil menuai berbagai prestasi di sekolah. Menjadi seorang penulis adalah impianku dan Fara dulu. Dan akhirnya sedikit demi sedikit tulisan cerpen-cerpenku membawaku menyeka debu-debu yang menutupi harap untuk bertemu dengannya lagi. Alangkah bahagianya aku setelah mendapat kabar bahwa aku menjadi duta daerahku untuk mewakili dalam acara kesuastraan yang akan di selenggarakan di kota tempat tinggalku dan Fara dulu. Dan berangkatlah aku.
Dini hari sekitar pukul 02.00 WITA, sampailah aku menginjakkan kaki di pulau kenangan kembali. Rasa bahagia mendekap erat jiwaku. Beribu rencana telah tertata. Dengan sedikit mencuri-curi waktu, nanti pagi aku aku akan pergi ke tempat pohon yang ada ukiran namaku dan Fara. Kegembiraanku semakin berasa setelah aku mengkhayalkan bertemu dengan Fara yang sangat kurindukan.
”Hhh... dimana pohon itu?”, tanyaku guigup.
Setelah kuamati benar-benar, ternyata pohon yang kucari itu tinggal batang tak bercabang dan keadaannya pun sudah lapuk. Tentu saja ukiran nama itu telah tiada. Aku pun merasa sangat kecewa hingga kuputuskan untuk pergi ke rumah Fara.
Roda-roda becak kembali membawaku ke rumah Fara. Sesampainya di sana akupun terkejut bukan kepalang. Kudapati rumah Fara yang kosong tak terawat. Mungkin Fara dan keluarganya sudah lama pindah dari rumah itu. Dan setelah aku bertanya kepada tetangganya, benar saja. Fara sudah pindah dua tahun yang lalu, tepatnya seminggu setelah aku pindah.
Sempat terpikir olehku, mungkin Fara juga merahasiakan kepindahannya dariku karena takut kalau aku jadi merasa sedih. Padahal aku juga melakuakan hal yang sama padanya. Hanya saja aku lebih dahulu melakukannya.
Percuma saja aku bersusah payah mencari kesempatan untuk bertemu dengan orang yang tidak ada. Kupandangi langit, yang terlihat hanya putih, biru dan bulan yang samar, sedang bintang tak mau tampak. Semua kurenungkan dalam-dalam. Bulan sangat mempesona jika di pandang malam hari, sedang saat siang pun ia tetap setia menemani bumi. Kadang ia menghilang tanpa permisi dan muncul tanpa bicara sedikitpun. Orang-orang sering memuja dirinya yang cantik nan elok, padahal kalau dilihat lebih dekat wajahnya penuh lubang. Tapi lubangnya itu bukan karena untuk membayar hutang cahaya pada matahari, melainkan untuk menutupi hati manusia yang berlubang karena sering terluka. Alangkah mulia hati bulan yang rela berkorban.
Sedang bintang itu sangat berkilau dan sungguh setia pada bulan. Saat bulan bersedih ia menghiburnya dengan pancaran warna sinarnya. Tapi ia hanya tampak kalau dilihat pada malam hari. Sayang kalau dipandang siang hari ia akan lari dan hanya menemani bulan dari kejauhan saja. Untung bintang mempunyai banyak teman, jadi saat ia berada di kejauhan, ia tak akan kesepian kalau tak ada bulan. Orang-orang sangat mengaguminya dan lebih-lebih ingin menjadi seperti dirinya yang selalu bersinar menerangi angkasa.
Dulu aku dan Fara sering berdebat untuk berebut siapa yang jadi bulan dan siapa yang jadi bintang. Dan akhirnya kami saling bertukar bulan dan bintang setiap harinya. Sekarang aku sangatlah bimbang. Mungkinkan kini aku jadi bulan? Ataukah mungkin sekarang aku telah menjadi bintang? Dan Fara?
Kini aku mengerti arti tulisan yang terukir pada pohon mahoni yang kini lapuk itu. Fara dan aku seperti bulan dan bintang yang bersahabat di siang hari. Selalu tak tampak atau samar jika di pandang, tapi begitu memukau kalau dipandang lewat arti persahabatan. Walaupun kami terpisah, namun aku dan Fara akan selalu bersahabat. Tak terasa air mataku berjatuhan satu-satu dan aku pun tak kuasa menyekanya.
”Fara, tolong katakan padaku. Sekarang aku ini bulan atau bintang?” ucapku pelan.
Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku seraya berkata, ”bulan atau bintang itu sama setianya”.
Aku pun membalik badan,”Fara?!”

Minggu, 20 Desember 2009

Sederhana Bagiku

Rainny.................


glitter-graphics.com

Jilbab-jilbab Basah

Hingga seribu nasi tak mampu menghapus air mata jilbab-jilbab basah
Hingga kami harus berwudhu dari derasnya hujan yang membasahi jilbab-jilbab tanah coklat
Hingga kami harus luruh oleh kesombongan juga keteledoran Betsi di banci
Hingga jilba-jilbab kami terhampar gersang di tengah genderang perang
Hingga kabut-kabut manja bersorak merayakan air mata kami
Hingga jilbab-jilbab basah hanya bisa memutar-mutar mahkota basahnya dalam mimpi yang kuyub
Hingga mereka berkata kamilah yang berjaya sesungguhnya
Hingga kejayaan itu hanya bisa kami rayakan dalam sebuah lorong-lorong kebodohan
Hingga jilbab-jilbab kami terbaring hampa, terkoyak jadi keset
Hingga jilbab-jilbab basah garang jadi arang
Hingga seribu nasi tak mampu menghapus air mata jilbab-jilbab basah

Sabtu, 1 November 2008

Aku Pun Tahu

Aku tahu dirimu dari angin

Ia mengabarkan padaku kemarin

Aku tahu wajahmu dari perahu

Ia mengisahkan padaku ragu

Aku tahu dirimu dari bulan

Ia mendongeng padaku pelan

Aku tahu dirimu dari rerumputan

Namun ia tak bercerita apa pun tentangmu

Dan aku pun tahu

Kepura-puraan

Tidakkah kau dengar kawan
Deru dera napasku tersengal-sengal kaku
Kemarin aku mengemis pada gerimis
Agar esok kepura-puraanku masih bisa bercengkrama dengan khusuk
Meskipun segala apa yang aku dan kau pertanya belum bisa merakit sabit pada wajah-wajah sakura

Ketika langkahku kahilangan pandang
Kuucapkan separuh keriuhan pagi 'tuk berhenti
Pun di sini aku kehabisan pecahan bola waktu

Belum sempat aku membasuh paruh bukit yang merajai gulita
Tapi di sepanjang pesisir karang
Jejakmu tlah menemu cinta

Dan dingin ini menggelegar melepas kabut
Kubiarkan begitu saja
Lantaran senyum beku itu terbaring bisu

Kucukupka saja permainan kali ini
Walau mungkin akan kembali kumulai nanti

Minggu, 13 Desember 2009

KARENA SEMUA TELAH BERAKHIR

Tak seindah ketika kulihat rimbun pelangi yang tertancap di antara lembah dan sungai itu tertutup kerumunan awan

Masih kuingat jelas kilau kemilau jingga yang kau terbangkan membusur bumi

Mungkin tak akan pernah lagi deras arusku di kumpulan kerikil yang kau renda kemudian kau lempar tinggi-tinggi menantang bintang

Mungkin juga decakmu yang angkuh itu masih bisa kupintal pada gulungan langitku

Dan kau tahu pasti tentang semua lamunku dari gemerlap rintih yang sempat kugantungkan di udara

Namun aku belum sempat terlelap begitu nyenyak

Karena aku tahu kalau kau hanya perdu yang ingin ikut bermuara bersama pelangi, lembah dan sungai

BARLIAN KADAP

Senja mulai merambat di cangkang kering pepohonan, bergelayut melambai menjauhi Meratus. Jingganya berjuntai membiarkan waktu terus melangkahi rumah-rumah lanting di pinggiran sungai. Hari ini keakraban matahari cukup sampai di sini, berganti dengan sabit yang temaram dibenam bayangan pohon-pohon menjulang.
“Pulantan, ayo cepat masuk ke rumah. Hari sudah hampir malam. Jangan duduk di depan pintu, pamali. Nanti lambat dapat jodohnya”, suara wanita setengah baya menyeru dari dalam rumah.
“Uma tidak usah mengkhawatirkan jodoh Pulan. Pulan sudah punya jodoh sendiri”, jawab Pulan anak wanita dalam rumah lanting tadi.
“Jangan bilang kamu berjodoh dengan Dumanang. Uma sudah memilihkan Hadran untukmu. Dia itu sudah kaya, tampan, orang tuanya jelas dan bagi uma dia itu pantas untukmu Pulan”
”Uma jangan hanya melihat dari segi materi. Kaka Dumanang itu sayang sekali dengan Pulan. Tidak seperti si Hadran”
”Asal kamu tahu saja Nak, Dumanang itu liur baungan. Gadis-gadis di kampung kita ini sudah banyak yang jadi korbannya. Uma tidak mau kamu juga jadi salah satu diantara mereka”
”Tapi uma jangan begitu saja percaya dengan omongan orang.”
”Anakku Pulan, uma ingin juga melihat kamu menikah dengan orang yang uma dan abah pilihkan. Uma ingin melihat kamu hidup bahagia dengan orang yang uma pilihkan”
”Cukup ma, Pulan sudah dewasa, sudah bisa menentukan jodoh Pulan sendiri”
Perdebatan sengit itu sejenak terhenti oleh suara parau seorang lelaki yang baru tiba dengan lantingnya. Lelaki dengan ciri khas balaung, menyandang butah dan menelipkan parang bungkul di pinggangnya ini pun mencoba mencari tahu apa yang terjadi dengan anak dan istrinya.
”Ui ui abahnya, lihat kelakuan anak kita ini, sekarang dia sudah berani menentang umanya sendiri. Dia lebih memilih Dumanang yang tidak jelas asal-usulnya ketimbang Hadran anak tetuha kampung kita”
”Anakku Pulantan, jangan seperti itu lagi. Turuti saja apa kata kuitan. Kami ini memilihkan jodoh untuk kebaikan kamu juga”, ayah Pulantan menasihati dengan sabar.
Pulantan yang amat kalut saat itu hanya bisa menangis, pergi meninggalkan perdebatan yang tidak diinginkannya. Ia tidak habis pikir, kenapa orang tuanya melarang hubungannya dengan Dumanang yang tidak lain adalah kekasihnya. Baginya kedua orang tuanya itu terlalu mudah percaya dengan berita tidak jelas tentang Dumanang.
Dumanang yang dikenalnya sejak beberapa tahun lalu memang benar seorang yang suka menggoda gadis-gadis kampung, tapi semenjak bersamanya Dumanang tidak pernah lagi melakukan hal-hal seperti itu. Kekasihnya itu berjanji bahwa ia hanya akan mencintai Pulantan seorang.
Karena besarnya cinta Pulantan terhadap Dumanang, kini hubungannya dengan kedua orang tuanya menjadi renggang. Hingga pada suatu waktu Pulantan terjerumus ke dalam lingkaran setan bersama Dumanang. Pulantan hamil di luar nikah. Tentu saja hal ini menggegerkan seluruh penduduk kampung yang tidak menyangka bahwa Pulantan sampai berbuat seperti itu.
Berita tentang hamilnya Pulantan ini begitu cepat tersebar sehingga menjadi buah bibir banyak orang. Tak ayal hal ini membuat orang tua Pulantan kehilangan muka dihadapan orang-orang kampung. Bagaimana tidak memalukan jika seorang anak dari seseorang yang cukup disegani di kampung bisa melakukan hal sekotor itu. Maka sesuai hukum adat yang berlaku, jika ada laki-laki dan perempuan melakukan zina maka mereka akan diusir dari kampung dan tidak diperkenankan kembali. Lalu dengan hina Pulantan dan Dumanang diusir dengan kasar. Menjauhi kampung halaman, langkah mereka dihiasi oleh caci maki dan semburan ludah dari para penduduk kampung.
Berhari-hari mereka berjalan menyusuri rimbanya Meratus. Bahkan tidur di tengah-tengah belantara yang penuh dengan ancaman binatang liar seperti tadung, biawak dan lain-lain. Angin dingin berkelahi dengan kulit, ini kesekian kalinya bulan perak bertengger di mata Pulantan. Ketika dari matanya merembes butiran bening, hanya ada Dumanang yang selalu setia menyeka gundahnya.
”Ading jangan menangis terus. Ini sudah jalannya kita. Kaka akan setia di sini menemani ading”, Dumanang mencoba menghibur Pulantan seraya mengalungkan kambang riringgitan ke leher Pulantan.
”Tapi kaka janji lah. Tidak akan meningalkan Pulan”
”Iya kaka janji. Sekarang lebih baik kita memikirkan hari esok. Dimana sebentar lagi anak kita akan lahir. Kaka membayangkan kalau anak kita perempuan pasti cantik seperti ading. Kulitnya putih, rambutnya lurus, bibirnya tipis, hidungnya mancung dan bulu matanya lentik”
”Iya, tapi kalau laki-laki pasti tampan seperti kaka. Kulitnya putih, gagah, punya lesung pipit dan matanya bening. Pulan jadi tidak sabar melihat anak kita nanti”
Perjalanan Dumanang dan Pulantan di hunjur Meratus terhenti ketika mereka menemukan beberapa balai atau rumah adat berbentuk panggung besar milik suku Dayak Meratus. Dari sinilah timbul sedikit rasa bahagia. Mereka mempunyai harapan andai urang bukit yang tinggal di dalamnya bisa menerima mereka. Apalagi sekarang persediaan makanan untuk bertahan hidup sudah habis.
Pada saat itu balai begitu ramai dengan suara gaduh kurung-kurung dan manusia yang keluar masuk balai. Rupanya di dalam balai sedang diadakan Upacara Aruh Ganal atau pesta adat untuk syukuran sehabis panen padi bagi Suku Dayak.
Dengan berhati-hati Dumanang menemui Damang atau kepala suku di balai itu dan mengutarakan maksudnya. Karena kasihan dengan Pulantan yang lemah karena mengandung, ia mempersilakan mereka untuk bermalam di salah satu ujuk atau salah satu kamar khusus untuk satu keluarga di dalam balai. Namun keesokan harinya Pulantan dan Dumanang harus pergi dari balai itu karena orang-orang yang tinggal di dalamnya tidak ingin ada orang asing yang menghuni balai mereka.
Dengan sangat terpaksa mereka pun pergi meninggalkan balai dan kembali mencari tempat untuk bertahan hidup. Sampai pada akhirnya Dumanang mencoba membuat rumah di atas sebuah pohon ulin besar untuk tempat tinggalnya bersama Pulantan. Ia membangunnya di tempat tinggi dengan maksud untuk menghidari serangan binatang liar yang bisa saja memangsa mereka. Selain itu, untuk bertahan hidup Dumanang melakukan sistem huma tugal atau sistem ladang berpindah seperti yang biasa dilakukannya dulu. Ia juga bagarit atau berburu hewan untuk lauk makannya.
Sampai pada suatu malam, keadaan rumah pohon mereka terasa mencekam. Angin deras bertiup menghempas dedaunan. Pulantan yang ketakutan hanya bisa berlindung dari balik tubuh Dumanang. Tiba-tiba sekelibat bayangan hitam berlalu lalang diluar rumah seperti ingin memberitahukan sesuatu. Menurut kepercayaan masyarakat Kalimantan Selatan, bayangan hitam ini dipercaya sebagai makhluk halus yang suka memberi kabar baik atau buruk kepada manusia. Mereka biasa menyebutnyaAanja.
”Ui ui Anja, untuk apa kamu mengganggu kami. Lebih baik kau segera pergi atau aku akan menghabisimu”, Dumanang mencoba mengusir sosok hitam itu.
”Aku tidak bermaksud mengganggu kalian. Aku hanya ingin mengabarkan bahwa bayi yang dikandung Pulantan itu bukan bayi biasa. Kalau bisa, jika bayi yang lahir itu perempuan beri nama ia Barlian. Dan jika bayi yang lahir itu laki-laki maka beri nama ia Kadap. Tapi ingat, janganlah kalian sakiti anak itu kalau kalian tidak ingin celaka”, anja menyahut lalu seketika menghilang ditelan kegelapan.
Kejadian malam itu terus saja mengusik batin Pulantan dan Dumanang. Apa benar dengan yang dikatakan Anja itu?
***
Ini sudah purnama yang kesembilan kali dilihat Pulantan. Itu berarti kelahiran bayi mereka tinggal menghitung hari. Benar saja, ketika Dumanang hendak pergi bagarit, Pulantan merasakan mulas yang hebat. Ini menandakan ia akan melahirkan sebentar lagi. Jantung Dumanang berdegup kencang menghadapi Pulantan yang melahirkan tanpa ditangani seorang dukun yang biasa menolong orang melahirkan.
Setelah beberapa menit, keluarlah seorang bayi dari rahim Pulantan. Alangkah terkejutnya Dumanang ketika melihat bayi yang keluar dari rahim Pulantan ittu ternyata berbeda dengan apa yang sering dibayangkannya. Kulitnya hitam legam, rambutnya keriting, bibirnya tebal bergelambir, hidungnya pesek, bungkuk dan yang lebih parahnya lagi bayi itu tidak mempunyai kelamin. Bukan perempuan dan bukan pula laki-laki.
”Sialan kau Pulantan! Aku sudah rela meninggalkan kebiasaan buruk ku hanya demi kau. Tapi apa yang kau perbuat padaku? Kau malah melahirkan anak yang rupanya tidak mirip dengan kita berdua. Sudah pasti itu bukan anak dariku”, Dumanang marah besar.
”Demi kaka, itu benar anak kaka. Aku tidak pernah berbuat selain bersama kaka”, Pulantan yang sedang lemah mencoba menjawab.
”Aku tidak menyangka kau seburuk itu. Kalau benar itu anak dariku, kenapa tidak sedikitpun mirip denganku? Kulit kita berdua kuning langsat tapi bayi itu kulitnya hitam legam. Dasar binian lahung!”
Betapa terpukul hati Pulantan mendengar cemoohan kasar Dumanang. Dipandanginya bayi itu dalam-dalam. Perasaannya berkecamuk antara menyesal dan tidak telah melahirkan bayi cacat seperti itu.
”Lebih baik aku pergi dari tempat ini daripada harus mengurusi perempuan kotor dan bayinya yang cacat!”
Mendengar teriakan demi teriakan kasar itu bayi Pulantan itu menangis sejadi-jadinya. Anehnya, tangisan bayi ini terdengar bukan seperti bayi lain pada umumnya bahkan dari matanya keluar air mata yang seketika mengkristal dan berkilau seperti intan. Melihat kejadian yang tidak biasa itu, Dumanang yang awalnya ingin pergi itu terheran-heran dan tidak jadi pergi.
”Apa gerangan yang terjadi dengan bayi ini Pulantan?”, tanya Dumanang heran.
”Aku juga tidak tahu”, jawab Pulantan yang juga terheran-heran kagum. Butiran kristal itu tampak begitu kontras dengan kulit si bayi. Melihat hal ini Pulantan mencoba menyeka air mata yang berguguran dari mata bayinya. Benar saja apa yang dikatakan Anja malam itu. Bayi ini bukan bayi biasa, air mata yang keluar dari mata sipit si bayi bisa berubah menjadi berlian-berlian indah.
Semenjak saat itu Dumanang tidak jadi pergi meninggalkan Pulantan dan tetap hidup bersama. Sesuai dengan apa yang disarankan anja dulu, jika bayinya perempuan diberi nama Barlian dan jika laki-laki diberi nama Kadap, Dumanang ingin memberi nama untuk si bayi. Karena bayi ini tidak diketahui jenis kelaminnya alias bukan perempuan atau laki-laki Dumanang merasa bingung untuk memberi nama si bayi.
Dalam kebingungannya, ia mengajak Pulantan untuk menemui anja lagi untuk meminta petunjuk. Sedianya Pulantan merasa ragu, tapi karena cintanya kepada Dumanang ia mau juga diajak. Malam itu Dumanang dan Pulantan pergi ke sebuah pohon randu tempat Anja biasa tinggal. Namun kedatangan mereka kesana sia-sia karena anja sudah tidak tinggal di sana lagi. Maka akhirnya bayi itu diberi nama Barlian Kadap. Barlian artinya berlian dan kadap artinya gelap. Barlian Kadap artinya berlian yang gelap. Benar saja karena air mata yang keluar dari mata seorang bayi yang berkulit gelap bisa berubah menjadi berlian.
Anehnya, Si Barlian Kadap ini tidak pernah tumbuh besar seperti manusia pada umumnya. Ukuran tubuhnya masih sama seperti pertama kali ia dilahirkan biarpun kedua orang tuanya telah memberinya berbagai makanan. Yang anehnya lagi makanan yang telah ditelannya tidak pernah keluar lagi dari tubuhnya karena ia tidak memiliki saluran pengeluaran.
Selama bertahun-tahun Dumanang dan Pulantan memelihara Barlian Kadap, selama itulah mereka merindukan kampung halaman. Karena saking rindunya terhadap kampung halaman, Pulantan pun terlihat kurus karena jarang makan.
“Ka, bagaimana kalau kita kembali ke kampung halaman? Terus terang Pulan rindu sekali dengan suasana di sana lebih-lebih pada uma dan abah”
”Kaka juga sama seperti ading. Tapi tidak mungkin kita pulang dengan keadaan seperti ini. Nanti apa kata orang-orang kampung? Setidaknya kita harus pulang dengan membawa banyak harta berharga untuk menutupi kesalahan kita dulu”
Mengingat hal ini, Pulantan dan Dumanang mempunyai obsesi untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya agar bisa pulang ke kampung mereka. Tapi bagaimana bisa mencari banyak harta berharga kalau mereka tetap tinggal di dalam belantara yang sepertinya hanya ada mereka sebagai satu-satunya makhluk bernama manusia yang ada. Namun hal ini tidak menyurutkan niat mereka untuk bisa pulang ke kampung halaman.
“Ading, bagaimana kalau kita meminta lebih banyak berlian lagi pada Si Barlian Kadap? Mungkin saja kita bisa mengumpulkannya dan lalu pergi ke kampung kita untuk menjualnya. Kita bisa kaya ding”, Dumanang memberi saran.
“Benar juga apa kata kaka. Tapi Si Barlian Kadap ini tidak akan mengeluarkan berlian kecuali jika ia sedang menangis”
”Kita pukuli saja badannya, pasti ia akan menangis dan mengeluarkan banyak berlian dari matanya”
”Tapi Pulan kasihan dengan Si Barlian Kadap ini, badannya terlalu kecil untuk dipukuli. Pasti ia akan kesakitan”, naluri keibuan Pulantan keluar.
”Oh, rupanya ading lebih memilih si cacat Barlian Kadap ini kah dibanding dengan kaka?”
”Bukan maksud ulun seperti itu ka”. Pulantan terdiam sejenak. ”Kalau begitu baiklah, ulun lebih memilih kaka daripada Si Barlian Kadap ini”, hati Pulantan akhirnya luluh juga oleh bujukan Dumanang.
Tanpa rasa kasihan, Dumanang dan Pulantan dengan tega memukuli anak mereka dengan kayu rotan sehingga anaknya itu menangis sejadi-jadinya karena sakit dan perih yang dideritanya. Semakin lama si Barlian Kadap menangis maka semakin banyak pula berlian-berlian yang berkilauan itu keluar dari matanya. Bukannya kasihan, Pulantan dan Dumanang malah menjadi semakin serakah untuk mendapatkan lebih banyak berlian lagi.
Setelah beberapa hari mengalami penderitaan, akhirnya Si Barlian Kadap sudah tidak berdaya dan tidak bisa mengeluarkan berlian dari matanya lagi. Ia hanya bisa menangis menitikkan air mata biasa sambil menatap wajah kedua orang tuanya yang bersuka ria melihat limpahan berlian. Dalam keadaan yang sangat mengenaskan, Si Barlian Kadap akhirnya menghembuskan napas terakhirnya.
Melihat hal ini, bukannya timbul rasa iba di hati Dumanang dan Pulantan melainkan malah semakin senang. Setelah berlian terkumpul kira-kira sebayak satu butah penuh, mereka bergegas meninggalkan mayat si Barlian Kadap di dalam rumah pohon milik mereka.
Berhari-hari mereka menempuh perjalanan untuk sampai ke kampung halaman mereka dengan berjalan kaki sampai akhirnya mereka sampai. Tidak seperti saat mereka tinggalkan, keadaan kampung ternyata sudah sangat banyak berubah. Kampung yang sebelumnya berada di pinggiran sungai, sekarang tertutupi oleh genangan air yang begitu luas dan dalam seperti sebuah danau.
”Ka, dimana orang-orang kampung ini?”, Pulantan kebingungan.
”Kaka juga tidak tahu ding”, Dumanang tampak cemas.
Dengan hati yang penuh tanda tanya Pulantan berlari ke pinggir danau. Sejauh matanya memandang, hanya ada genangan air yang begitu luas. Hatinya hancur ketika pandangannya terarah pada tiang-tiang rumah yang menyembul dari dalam air. Ia masih kenal dengan bentuk-bentuknya yang sebagian besar sudah tenggelam.
”Tidak mungkin! Tidak mungkin kampung kita jadi begini. Dimana uma? Dimana abah?”, Pulantan mengehempas-hempaskan tangannya ke udara.
”Ading sabar dulu. Mungkin ini bukan kampung kita”, Dumanang menenangkan.
”Bukan ka. Pulan yakin ini kampung kita. Pulan kenal betul tiang-tiang kayu itu”. Tanpa sadar Pulantan berlari ke arah genangan air itu dan terpeleset masuk ke dalamnya. Karena tidak bisa berenang, Pulantan hanya bisa berkecipak dan berteriak minta tolong. Melihat kekasihnya yang kesulitan, Dumanang mencoba menolong dengan meloncat masuk ke air. Namun naas, Dumanang yang juga tidak pandai berenang malah ikut tenggelam bersama Pulantan. Karena kehabisan tenaga dan sulit bernapas, tak ayal hal ini membuat Dumanang dan Pulantan tak kuasa lagi mempertahankan hidup ketika harus beradu dengan ajal. Berlian-berlian yang mereka bawa pun larut entah kemana.
Sampai sekarang tempat tenggelamnya Dumanang dan Pulantan itu dikenal sebagai waduk yang dinamakan Waduk Riam Kanan. Yaitu danau olahan yang dibuat pada masa pemerintahan Jepang pada tahun 1970an untuk dijadikan sumber dari irigasi. Pembuatan waduk ini telah menenggelamkan banyak sekali kampung. Bekas-bekas rumah penduduk pun sampai sekarang masih bisa dilihat dari tiang-tiang yang menyembul dari dalam air.
Konon mengenai berlian-berlian milik Dumanang dan Pulantan yang ikut terhapus air yang datang dari sungai-sungai yang dibendung sampai kini masih menjadi misteri. Karena setiap orang yang menemukan berlian di daerah waduk pasti akan ditemui oleh si Barlian Kadap seraya berkata,”Jangan diambi!. Itu barlian inggit uma wan abahku!”, yang artinya,”Jangan diambil! Itu berlian milik ibu dan ayahku!”. Anehnya jika memang ditemukan sebuah berlian, berlian itu tidak akan bertahan lama disimpan oleh yang menemukannya alias hilang secara gaib karena diambil kembali oleh Si Barlian Kadap.
Bukan hanya sekedar itu saja cerita tentang Barlian Kadap. Setelah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya, sosok gaib dirinya sering muncul sesekali di depan penduduk sekitar waduk untuk menayakan apakah orang yang ditemuinya ini adalah orang tuanya. Namun kalau orang yang sudah tahu, mereka akan menjawab ”Jangan mengganggu. Aku lainan uma/abah ikam”. Setelah dijelaskan seperti itu Barlian Kadap suka menanyakan dimana keberadaan orang tuanya. Lagi-lagi orang yang sudah tahu akan menjawab,”Uma wan abah ikam sudah mati tinggalam di sini. Kada usah dicarii lagi, inya tu lainan kuitan nang sayang lawan ikam”. Mendengar hal ini Barlian Kadap akan menjauh dan mencari orang tua yang lain lagi.


*****













Uma
Abah
Kaka
Ading
Hunjur
Liur baungan
Kambang riringgitan

Balaung
Butah
Pamali
Parang bungkul
Kuitan
Pambakal
Tadung
Urang bukit
Kurung-kurung
Binian lahung
Tetuha :
:
:
:
:
:
:

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:


Ibu
Ayah
Panggilan kesayangan perempuan untuk laki-laki
Panggilan kesayangan laki-laki kepada perempuan
Kaki pegunungan
Mata keranjang
Rumput-rmput hutan yang dirangkai atau dironce menjadi bunga hias
Memakai ikat kepala khas banjar
Tas keranjang yang terbuat dari rotan
pantangan
Golok besar
Orang tua
Kepala kampung
Ular besar
Orang yang tinggal dalam balai
Alat musik khas dayak
Perempuan nakal (pelacur)
Tetua
Jangan mengganggu. Aku lainan uma/abah ikam : Jangan mengganggu. Aku bukan ibu/ayahmu.
Uma wan abah ikam sudah mati tinggalam di sini. Kada usah dicarii lagi, inya tu lainan kuitan nang sayang lawan ikam : Ibu dan ayahmu sudah matitenggelam di sini (di waduk). Tidak usah dicari lagi. Mereka itu bukan orang tua yang sayang padamu.

Minggu, 06 Desember 2009

LAZUARDIKU

Aku menunggumu
Lama sekali
Sementara di luar hujan turun sangat lebat
Entah mengapa kala itu seperti ada yang memburu
Di lembar hatiku tak sengaja kutulis sebuah nama
Terbata akumengeja huruf-hurunya
Menghapalnya
Hingga kususun seperti puzzle di atas tumpukan letih
Aku seperti kehilangan sosokmu
Karena gundah ini tak henti-hentinya terisi air langit
Sebuah kesejukan yang membuatku malas berkelana lagi
Tapi ternyata hujan hanya akan membuatku sembab
Seperti tiada hirau aku mematung mengurai rindu
Tanpa sengaja mataku terarah ke luar jendela
Di sana kulihat hujan mulai reda
Membiarkan engkau lazuardiku kembali mengangkasa
Bergayut di hamparan atap dunia
Lazuardiku
Bisikan padaku sekali lagi
Isyarat kias yang pernah terucap abad lalu
Agar ketika aku bertemu hujan
Akan kuingat bahwa aku adalah tawananmu
Lazuardi yang datang mengusik lelap tidurku

Sabtu, 05 Desember 2009

In SMAVEN




Hehehe,,,,,,,, akhirnya kami berhasil juga

Nag" IPA 3