Senin, 28 Desember 2009

Aku Bulan atau Bintang?

Pada siapa aku harus percaya?! Pada bulan? Ataukah pada bintang? Tidak!!! Tapi ini sedikit menyakitkan. Katanya aku harus percaya pada malam, karena ia akan mengundang siang. Tapi malam selalu bohong! Ia bilang bisa terangi gelapku dengan bulannya. Nyatanya, sinarnya itu cuma hutangan belaka dari matahari. Sekarang biarkan aku sendiri menetap lara diri.
”Kami adalah bulan dan bintang di siang hari. Samar, bahkan tak nampak kalau dipandang ke langit” bacaku pada sebuah gores tulisan di kulit pohon mahoni.
Tak mengerti memang, tapi sepertinya itu adalah ungkapan hati seseorang yang amat puitis.
”Fara, daripada kita terus melototi tulisan ini lebih baik kita segera pulang”’ ajakku pada Fara sahabatku.
”Tentu, lagipula aku tak mengerti arti dari tulisan ini”, jawabnya singkat.
Terik matahari bagaikan memanggangku dalam oven, tapi bedanya aku bukan roti. Langkah kaki kecilku mulai gontai menapaki sepanjang gang kecil yang mengiringi raga sampai ke rumah. Lega rasanya saat kuhirup aroma sop buatan Ibu yang merayuku untuk segera makan siang. Namun, kali ini aku tidak langsung makan. Badan yang terasa sangat letih ini memaksa diri untuk menghempaskan penat ke kasur tempat tidur mungilku. Tak tahu mengapa, kalimat puitis pada pohon mahoni yang kujumpai tadi selalu membayang di pikiranku.Tak berapa lama kurasakan bagai petir di siang bolong.
”Apa?! Ayah akan dipindahkan bekerja ke Banjarbaru bulan ini? Dan minggu depan kita harus segera berangkat?” tanyaku pada Ibu.
Rasanya tak percaya, tapi ini nyata. ”Fara sahabatku, apa yang harus aku katakan padamu?” tanyaku dalam hati. Aku senang, tapi juga sedih. Kembali ke kampung halaman memang menjadi hal yang sangat kunantikan, tapi menginggalkan seorang sahabat adala hal yang sangat menyedihkan. Terus terang aku tidak mau melihat raut wajah Fara yang sedih karena kepergianku.
”Fara, aku ingin mengukir nama kita berdua di pohon yang ada tulisan anehnya itu. Kamu mau membantuku kan?” ajakku penuh harap.
”Memangnya untuk apa?” Fara terlihat bingung.
”Hanya untuk main-main aja kok!” jawabku asal.
Saat melihat hasil ukiran tulisan nama yang hampir tak bisa dibaca itu, perutku terasa geli tapi hatiku perih sekali. Mungkin ini adalah kenangan terakhirku untuk Fara. Suatu saat nanti kuharap Fara akan mengerti arti mengapa aku ingin menuliskan nama kami berdua di pohon itu. Arti dari persahabatan kami. Saat kami bersama berbagi dari ketika kami masih sama-sama kecil.
Hari demi hari berlalu tanpa permisi. Tak terasa esok aku harus pergi. Bola tenis dipantulkan Fara berkali-kali dan kami masih saling diam. Padahal aku tidak pernah mengatakan hal apa-apa tentang kepergianku kepadanya. Tapi sepertinya ia tahu. Sikapnya pun seperti lain dari yan biasanya.
”Aku ingin jadi bulan, dan kau ingin di apa?”, tanya Fara tiba-tiba.
Sempat aku terdiam ’tuk berpikir, ”Jadi bintang saja tak apa. Bukankah bintang itu sahabat setianya bulan?”
”Mmm.... Aku masih bimbang, karena sebenarnya aku juga ingin adi bintang”’ katanya lagi dengan cepat.
Sekali lagi perkataannya menyayat hatiku. Kupandangi wajah polosnya dengan rasa penuh sesal. Mungkin nanti, ’tak akan bisa lagi aku bermain bersamanya apalagi menulis cerita tentang khayal kami di langit sana.
”Maafkan aku. Aku tak sanggup untuk bilang pisah padamu. Karena aku tahu, bahwa aku mungkin tak akan bisa lagi bertemu dan bersahabat dengan orang seperti dirimu”, sesalku sekali lagi. Fara adalah sahabat yang paling mengerti aku, meski ia adalah anak manja yang belum mandiri tapi ia selalu bisa mengatasi masalah dengan baik walaupun harus mengorbankan dirinya sendiri.
Untuk terakhir kali, kupandang ke belakang kapal Ferry yang membawaku menjauh dari pulau yang tempat aku dan Fara dulu saling berbagi. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa kau akan kembali menenemui Fara lagi. Riak-riak air laut yang kubelah sebagai langkah seakan bersorak merayakan kepergianku. Iya benar, seharusnya aku tidak lagi memandang ke belakang karena duniaku ada di depan, di pulau yang lain.
Tanpa terasa dua tahun berlalu. Mula-mula rasa sepi menerpa hidupku namun lama-kelamaan rasa itu pun mulai sirna karena ternyata di sini aku juga memperoleh banyak teman baik meski tak sebaik sahabatku Fara. Duniaku memang sudah mulai berkembang dan aku pun juga berhasil menuai berbagai prestasi di sekolah. Menjadi seorang penulis adalah impianku dan Fara dulu. Dan akhirnya sedikit demi sedikit tulisan cerpen-cerpenku membawaku menyeka debu-debu yang menutupi harap untuk bertemu dengannya lagi. Alangkah bahagianya aku setelah mendapat kabar bahwa aku menjadi duta daerahku untuk mewakili dalam acara kesuastraan yang akan di selenggarakan di kota tempat tinggalku dan Fara dulu. Dan berangkatlah aku.
Dini hari sekitar pukul 02.00 WITA, sampailah aku menginjakkan kaki di pulau kenangan kembali. Rasa bahagia mendekap erat jiwaku. Beribu rencana telah tertata. Dengan sedikit mencuri-curi waktu, nanti pagi aku aku akan pergi ke tempat pohon yang ada ukiran namaku dan Fara. Kegembiraanku semakin berasa setelah aku mengkhayalkan bertemu dengan Fara yang sangat kurindukan.
”Hhh... dimana pohon itu?”, tanyaku guigup.
Setelah kuamati benar-benar, ternyata pohon yang kucari itu tinggal batang tak bercabang dan keadaannya pun sudah lapuk. Tentu saja ukiran nama itu telah tiada. Aku pun merasa sangat kecewa hingga kuputuskan untuk pergi ke rumah Fara.
Roda-roda becak kembali membawaku ke rumah Fara. Sesampainya di sana akupun terkejut bukan kepalang. Kudapati rumah Fara yang kosong tak terawat. Mungkin Fara dan keluarganya sudah lama pindah dari rumah itu. Dan setelah aku bertanya kepada tetangganya, benar saja. Fara sudah pindah dua tahun yang lalu, tepatnya seminggu setelah aku pindah.
Sempat terpikir olehku, mungkin Fara juga merahasiakan kepindahannya dariku karena takut kalau aku jadi merasa sedih. Padahal aku juga melakuakan hal yang sama padanya. Hanya saja aku lebih dahulu melakukannya.
Percuma saja aku bersusah payah mencari kesempatan untuk bertemu dengan orang yang tidak ada. Kupandangi langit, yang terlihat hanya putih, biru dan bulan yang samar, sedang bintang tak mau tampak. Semua kurenungkan dalam-dalam. Bulan sangat mempesona jika di pandang malam hari, sedang saat siang pun ia tetap setia menemani bumi. Kadang ia menghilang tanpa permisi dan muncul tanpa bicara sedikitpun. Orang-orang sering memuja dirinya yang cantik nan elok, padahal kalau dilihat lebih dekat wajahnya penuh lubang. Tapi lubangnya itu bukan karena untuk membayar hutang cahaya pada matahari, melainkan untuk menutupi hati manusia yang berlubang karena sering terluka. Alangkah mulia hati bulan yang rela berkorban.
Sedang bintang itu sangat berkilau dan sungguh setia pada bulan. Saat bulan bersedih ia menghiburnya dengan pancaran warna sinarnya. Tapi ia hanya tampak kalau dilihat pada malam hari. Sayang kalau dipandang siang hari ia akan lari dan hanya menemani bulan dari kejauhan saja. Untung bintang mempunyai banyak teman, jadi saat ia berada di kejauhan, ia tak akan kesepian kalau tak ada bulan. Orang-orang sangat mengaguminya dan lebih-lebih ingin menjadi seperti dirinya yang selalu bersinar menerangi angkasa.
Dulu aku dan Fara sering berdebat untuk berebut siapa yang jadi bulan dan siapa yang jadi bintang. Dan akhirnya kami saling bertukar bulan dan bintang setiap harinya. Sekarang aku sangatlah bimbang. Mungkinkan kini aku jadi bulan? Ataukah mungkin sekarang aku telah menjadi bintang? Dan Fara?
Kini aku mengerti arti tulisan yang terukir pada pohon mahoni yang kini lapuk itu. Fara dan aku seperti bulan dan bintang yang bersahabat di siang hari. Selalu tak tampak atau samar jika di pandang, tapi begitu memukau kalau dipandang lewat arti persahabatan. Walaupun kami terpisah, namun aku dan Fara akan selalu bersahabat. Tak terasa air mataku berjatuhan satu-satu dan aku pun tak kuasa menyekanya.
”Fara, tolong katakan padaku. Sekarang aku ini bulan atau bintang?” ucapku pelan.
Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku seraya berkata, ”bulan atau bintang itu sama setianya”.
Aku pun membalik badan,”Fara?!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar