Minggu, 29 November 2009

Aurelia Ephyra



KEMATIAN YANG TERTUNDA

kusulam bait-bait dzikir di atas pusara-pusara kembar
tempat mereka yang telah lama terbaring
terbujur kaku dalam liang penantian

gemetar ayunan bibir melantunkan beribu doa
yang masih saja tertahan di langit
menunggu-Nya berkenan untuk sekedar mendengar

ya.... Robb
kemana aku harus kembali?
ke tempat ini kah?
sendiri kedinginan dibenam bumi

ya.... Robb
pernah engkau memberi isyarat padaku untuk kembali
seperti kematianku yang tertunda empat belas tahun yang lalu
tapi
hingga kini aku masih bisa berdiri dengan separuh nyawa tergadai di tangan-Mu

ya.... Robb
inikah saatnya aku pulang
ataukah nyawa tyang tersisa ini
harus tetap melangkah dulu
sebelum malaikat-Mu menjemput lagi

Kamis, 19 November 2009

DAN AKU MENUNGGU

Aku pun juga begitu
Tak puas-puas meretas bayangmu dari pilar-pilar megah yang kita bangun musim lalu

Aku pun juga begitu
Sering kali tidurku terusik oleh bayangmu yang berlarian di kedua bola mataku

Aku pun juga begitu
Dilanda demam yang sangat saat bayangmu absen dari keteledoranku

Aku pun juga begitu
Takut kehilangan bayangmu hingga tak kubiarkan ada cahaya lain yang merenggutmu dari arusku

Aku pun juga begitu
Berharap tak ada bayangan lain yang merangkul bayangmu

Aku pun juga begitu
Berharap kelak ada secarik waktu yang mengantarmu bicara padaku
Bicara tentang masa depan yang entah bertengger di abad keberapa
Dan aku menunggu

Selasa, 17 November 2009

Agustus di Bumi Kencana

ketika waktu mengantarku berlabuh di Bumi Kencana
tanah lapang berhiaskan batu-batu kembar
kulihat tak ada senyum menyembul dari balik nisan-nisan garuda
kudengar mereka masih mengantri menagih janji
janji garuda-garuda masa depan

ada kobar semangat di balik timbunan tanah
ada ribuan asa bergejolak membuncah
ada riak-riak tangis seperti rinai hujan tertindih sedih

mana janji kalian hai muda-mudi?
masih sebegitu lelapkah mimpi kalian untuk membangun negeri?
bangun hai garuda-garuda bangsa
sekarang bukan waktunya terbuai zaman
sudah cukup tanah pertiwi sendiri membungkam luka
wujudkan mimpi kami
mimpi Indonedia untuk menjadi bangsa yang perkasa
bukan cuma gedung-gedung, jalan atau pun kendaraan yang jadi pedoman

sejenak angin berbisik hening
khusuk memanjatkan doa yang tak habis-habisnya
dan aku bagai perdu
menunggu agustus yang lain di Bumi Kencana

Minggu, 15 November 2009

Bumi Kencana

Penyair Sepi

belum pernah aku serapuh ini
meniti bulir-bulir hari
mungkin karena aku sudah terlanjur terbiasa
akan hadir pesan-pesanmu
hingga saat kau tak ada
aku merasa seperti penyair sepi
hanya bisa melipat kata-kata dalam puisi

Sabtu, 14 November 2009

Rindu yang Begitu Keruh

dan rindu pun mulai berjatuhan satu-satu
setelah letih kusembunyikan wajahmu lama sekali
hari ini
pada cermin kutemukan kembali sosokmu
dengan tubuh bias membaur dengan cahaya

seperti ingin aku berucap pada laut
dalam sajak yang menggebu
bertanya apakah engkau yang sering singgah di sini
duduk dan mengajakku menikmati jingga yang berkibar di mega-mega

namun ini terlalu klise
sukar bagiku menebak rindu yang begitu keruh